watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

HADIAH BUAT PAHLAWAN

Saya berasal dari Tasikmalaya dan sudah 2 tahun
menempuh kuliah di Jakarta. Di sini aku tinggal di
sebuah rumah kost yang dihuni banyak
mahasiswa perantauan sepertiku. Kisah ini
bermula ketika aku sedang berbelanja ke sebuah
mall di Jakarta. Aku tidak sendirian, tapi bersama 2
gadis teman kostku, mereka adalah Diana dan
Sinta. Keduanya cantik dan sama-sama warga
keturunan sepertiku. Diana adalah seniorku
semester akhir, sama-sama jurusan manajemen
denganku, sifatnya pendiam, banyak yang
mengatakan dia judes karena jarang tersenyum,
karena sifat tertutupnya inilah temannya cuma
sedikit, tapi kalau sudah akrab ternyata orangnya
baik dan menyenangkan. Dia sering membantuku
dalam tugas-tugas kuliah. Hubungan kami seperti
kakak adik, orangnya putih cantik, tinggi, rambut
panjang, wajah oval dan bodinya ideal, kalau
dilihat-lihat mirip dengan Vivian Hsu, sedangkan
Sinta seangkatan denganku tapi dari fakultas
psikologi, pacarnya adalah salah satu temanku
yang sedang belajar di luar negeri, sifatnya
periang dan humoris, kadang-kadang suka
bercanda kelewatan, tingginya skitar 160 cm,
bodinya langsing, berambut lurus sebahu,
wajahnya putih licin dengan hidung mancung,
dia dan aku termasuk beberapa dari segelintir
orang yang dekat dengan Diana.

Malam itu langit sudah gelap kira-kira jam 19:00,
kami sudah selesai berbelanja dan sedang
menuju tempat parkir bertingkat. Tempat itu
sudah sepi dan gelap karena aku kebetulan parkir
di tingkat agak atas jadi jarang ada kendaraan.
Suasana di sana cukup menyeramkan hanya
diterangi lampu remang-remang. Tiba-tiba kami
dikejutkan oleh 2 orang preman berpenampilan
sangar yang menghadang jalan kami.
"Hei babi, tunggu dulu kalo mau lewat serahin
dulu duit yang kalian punya, ayo!" kata yang
kurus gondrong itu.
"Wah gile bawa cewek juga nih dia, cakep-cakep
lagi, eh cewek mau main sama kita nggak!" timpal
temannya yang berambut cepak. Aku segera
bergerak menepis tangan si cepak ketika hendak
mengelus pipi Diana yang tampak ketakutan.

"Hei, hei.. kalau mau duit gua ada tapi jangan
macam-macan sama temanku!" bentakku
padanya.
Rupanya mereka tidak terima dan si gondrong
mengeluarkan pisau lipatnya dan menyerang ke
arahku, aku menghindar dan menangkap
pergelangan tangannya, kupuntir dengan jurus
aikido yang kupelajari sejak SMA, "Ci Diana, Sinta,
cepat masuk ke mobil dan lari, jangan tunggu
gua!" seruku pada mereka seraya memberi kunci
mobil pada Diana, mereka segera masuk ke mobil
dan kudengar mesin sudah dinyalakan tapi
bukannya lari malah menungguku.
"Heh bangsat, mau jadi jagoan loe, ayo kita hajar
dia dulu Wan baru kita kerjain cewek-ceweknya,"
kata yang gondrong pada temannya. Si cepak
menerjang ke arahku tapi kutendang perutnya
sampai terhuyung-huyung ke belakang.
"Ayo masih berani maju?" tantangku dengan
memasang kuda-kuda. Yang cepak itu masih
belum kapok, dia mengeluarkan pisaunya dan
mencoba menusukku, kami sempat terlibat
pertarungan seperti dalam film-film action.

Tanganku sempat tersabet pisau dan membuat
luka gores sepanjang kira-kira 10 cm, namun aku
berhasil merebut pisau si gondrong dan
kupatahkan pergelangan tangannya, sementara
yang cepak terkena tinjuku pada mulutnya
sehingga terlihat darah pada bibirnya.
Sebenarnya aku mulai kewalahan tapi aku
mencoba tetap tenang dengan menggertak
mereka dengan pisau yang kurebut sambil
berdoa dalam hati, kami terdiam sesaat lalu
mereka perlahan-lahan mundur, membalikkan
badan dan kabur entah kemana, akhirnya
berguna juga ilmu bela diri yang kupelajari
selama ini. Aku segera masuk mobil, kusuruh
Diana segera tancap gas, dengan wajah masih
tampak tegang dia segera menjalankan mobil dan
keluar dari situ.

Sinta berkata padaku, "Ihh tangan kamu berdarah
tuh, kamu nggak apa-apa?". Sinta membantu
mengobati lukaku dengan peralatan P3K di
mobilku.
"Leo, kamu nggak apa-apa, kita ke rumah sakit
ya," sambung Diana.
"Ah nggak usah kok cuma luka gores aja, nggak
sampai kena tulang lagi, tinggal diobatin dan
diperban sendiri aja, kalian tenang sajalah,
harusnya gua yang terima kasih pada kalian,
kalian sudah gua suruh kabur dulu tapi malahan
nungguin, kalau gua kalah tadi gimana coba!"
"Leo, kamu masih anggap Cici ini temanmu
nggak sih, kamu pikir kita tega ninggalin kamu
sendirian kayak gitu!" kata Diana dengan ketus
dan menatap tajam ke arahku.
"Udah Ci, lagi nyetir jangan marah-marah, Leo
kan tadi kuatir keselamatan kita juga, uuhh.. kamu
sih asal omong!" Sinta mencoba menenangkan
sambil menyikut dadaku, aku diam saja daripada
ribut sama cewek, bukannya takut tapi bikin
pusing apalagi mendengar omelan Sinta kalau lagi
bawel.www.ceritaindo.sextgem.com

Sesampainya di kost, aku menyuruh mereka
istirahat saja supaya tenang, aku sendiri segera
masuk kamar. Kira-kira jam 9 malam, aku
sedang membaca tabloid Bola, pintuku diketuk,
ternyata yang datang Diana dan Sinta yang sudah
memakai pakaian tidur.
"Loh, ngapain kalian berdua ke sini malam-malam
begini?" tanyaku.
"Kita cuma mau berterima kasih barusan itu,
kamu tadi hebat banget deh Le, mirip Jet Lee aja
aksinya," puji Sinta dengan tersenyum.
"Boleh kami masuk, ngobrol-ngobrol sebentar?"
tanya Diana.
Akhirnya kupersilakan mereka masuk juga
mumpung belum ada yang lihat.
"Gimana lukamu Le, sori banget ya demi kita
kamu jadi gini, kalo nggak ada kamu nggak tau
deh gimana nasib kami," kata Sinta sambil
memegangi lenganku yang sudah diperban.
"Ah luka kecil, nggak lama juga sembuh kok,
kalian tenang deh."
"Le, kamu hebat deh tadi, makannya kita ke sini
rencananya mau membalas budi nih, kami ada
hadiah kecil buat kamu," sahut Diana.

"Oh, nggak usah Ci, kita kan temen kok pake
hadiah-hadiahan segala."
"Eee, harus diterima lho kalo nggak gua nggak
mau omong sama kamu lagi nih!" sambung Sinta
setengah memaksa.
"Ya, iya deh, aku terima aja biar kalian puas,
makasih loh."
"Tapi loe tutup mata yah, soalnya ini surprise
loh," katanya lagi.
"Wah, apa sih pake rahasia segala, ya udah deh,
gua merem nih," kataku.
Aku bersandar di ranjang sambil memejamkan
mata, kudengar suara tirai ditutup dan Diana
berkata, "Awas jangan ngintip ya, ntar batal loh
hadiahnya!" disambung dengan suara Sinta
ketawa cekikikan.
Akhirnya aku merasakan salah seorang duduk di
sampingku dan meraih tanganku.
"Sudah siap?" ternyata suara Diana.

"Sudah, boleh buka mata belum Ci?"
"Tunggu bentar lagi." jawabnya.
Tanganku disentuh & diusapkan pada suatu
benda kenyal olehnya. Betapa kagetnya aku ketika
meraba benda itu ternyata adalah payudara
wanita. Segera kubuka mata dan benar saja,
Diana duduk di samping kiriku tanpa sehelai
benangpun dan menumpangkan tanganku di
payudaranya, sementara Sinta yang juga sudah
polos mematikan lampu kamar dan menyalakan
lampu meja sehingga suasana menjadi remang-
remang.
"Nah kalo gini kan jadi romantis suasananya."
katanya.
Benar-benar kaget bercampur terangsang aku
saat itu, aku baru pertama kalinya melihat mereka
polos. Tubuh Diana ternyata benar-benar aduhai,
perut rata, paha jenjang yang mulus, bulu
kemaluan yang rapi dan lebat, dan payudaranya
lumayan besar dan kencang, benar-benar mirip
dengan Vivian Hsu yang sering kulihat gambar-
gambar bugilnya. Tubuh Sinta tidak kalah
menarik walaupun payudaranya tidak sebesar
Diana, mungkin hanya 34 dengan puting merah
muda dengan bulu kemaluan yang lebat pula.

"Loh, kok.. kok begini sih, terima kasihnya
kelewatan deh kayaknya," kataku sedikit gagap
dan jantungku berdebar kencang karena aku
belum pernah main dengan perempuan lain
selain pacarku sendiri.
"Tidak Le, kamu memang pantas menerimanya,
jadi hutang budi ini impas," jawab Diana lalu dia
membuka ikat rambutnya sehingga rambut
panjangnya tergerai bebas sedada.
"Wah, Ci liat, mukanya merah tuh, dia malu sama
kita kali," kata Sinta sambil tertawa.
"Nggak usah malu Le, kita kan temen dekat bukan
orang lain," kata Diana seraya membelai pipiku
dan mencium bibirku. Imanku langsung runtuh
karena perlakuan mereka, begitu bibirnya
menempel di bibirku segera kusambut dengan
tarian lidahku di mulutnya, lidah kami saling
beradu dengan penuh nafsu, tanganku sudah
mulai memijat-mijat buah dadanya dan mulai
turun meraba-raba paha mulusnya naik lagi ke
kemaluannya dan kuberikan sentuhan halus pada
klistorisnya.

Diana yang biasanya pendiam dan lemah lembut
itu, malam itu begitu liar & penuh nafsu jauh dari
yang sehari-hari. Sinta tidak tinggal diam, dia
memelorotkan celana trainingku dan CD-ku
sehingga barangku yang sudah tegang
menyembul keluar. "Wah besar juga nih, pantes
si Vivi betah sama lu Le," godanya. Dijilatinya
senjataku dengan penuh nafsu, lalu dimasukkan
ke mulutnya dan diemut-emut seperti seperti
permen lolipop. Sementara ciumanku pada Diana
sudah mulai turun ke dagunya, lalu ke leher.
Kusibakkan rambut panjangnya ke samping kiri
lalu kujilat-jilat leher kanannya, kugigit pelan
sambil menyapunya dengan lidahku. Nafas Diana
sudah mulai kacau matanya terpejam sambil
mendesah dan meremas-remas rambutku, aku
sendiri merasakan sensasi hebat pada batanganku
yang sedang dikulum Sinta, baru pertama kalinya
kurasakan kenikmatan bercinta dengan dua
wanita.

Tanganku mulai naik dari kemaluannya menuju
dadanya dan lidahku turun menuju sasaran yang
sama, akhirnya kutangkap dada kanannya
dengan tanganku dan dada kirinya dengan
mulutku, disaat yang sama juga tangan kiriku
mengelus-elus pantatnya yang indah itu. Puting
yang ranum itu kusedot dan kutarik-tarik dengan
mulutku dan dada kanannya kuremas-remas
sambil memencet putingnya.
Setelah beberapa saat kurasakan barangku mau
meledak karena kuluman Sinta.
"Sin, Sin udah stop dulu.. gua udah nggak tahan
nih!" kataku terbata-bata.

Akhirnya dia menghentikan kegiatannya dan
berkata, "Lu gitu ah, masa mainnya sama Ci
Diana terus, kamu nggak suka Sinta ya, ntar gua
bilangin loh ke Ko Hendy (pacar Diana) biar
digebuk hehehe.."
"Sori dong Sin, abis kan tadi Ci Diana yang mulai
dulu, jadi dia yang duluan dapet."
"Ya udah, biar adil kita undi saja siapa yang lebih
dulu melayani Leo, gimana Sin?" Diana memberi
usul. Mereka berdua suit dan yang menang
adalah Diana.
"Yah, Sinta kalah, ya udah Cici duluan deh, jahat
ah!" kata Sinta mencibir pada Diana.

"Tenang Sin kamu juga ntar kebagian kok, Leo
kan kuat, ya nggak," kata Diana sambil melirik
padaku. Kini Diana berbaring terlentang di ranjang
dan Sinta duduk di tepi ranjang menunggu.
Kuciumi sekujur tubuhnya mulai dari bibir dan
sesampainya di kemaluan, kuangkat kedua
kakinya ke bahuku sampai tubuhnya setengah
terangkat lalu kudekatkan wajahku ke pangkal
pahanya. Bulu-bulu lebat itu kusibakkan dengan
jariku dan kujilati belahan di tengahnya. Lidahku
bermain-main dengan ganas di daerah itu
membuat tubuh Diana mengelinjang-gelinjang
disertai suara-suara rintihannya. Tidak kuhiraukan
lagi bahwa gadis ini sebenarnya adalah seniorku
dan kuanggap kakak angkatku yang harusnya
kuhormati, yang terpikir saat itu hanyalah nafsu
dan nafsu yang makin membara.
Mendadak kurasakan sebuah tangan dengan jari-
jarinya yang lembut menggenggam batang
kemaluanku yang nganggur. Pemilik tangan
lembut itu adalah Sinta yang tidak tahan hanya
menjadi penonton. Dikocoknya batang
kejantananku lalu dimasukkan ke mulutnya dan
diemut-emut, sementara lidahku terus bekerja di
liang kewanitaan Diana, tanganku membuka bibir
kemaluan yang rapat itu sampai kulihat tonjolan
kecil di tengahnya, dan kumasukkan lidahku lebih
dalam lagi agar bisa menjilat benda itu. Rintihan
Diana makin menjadi-jadi sambil meremas-
remas sprei dan Sinta berpindah menciumi
payudara Diana.

Sesaat kemudian kedua paha Diana mulai
menjepit kepalaku, badannya tertekuk ke atas.
"Oh, Leo.. akhhh.. ah!" Erangan itu diiringi
menyemburnya cairan hangat berwarna bening
membasahi mulutku, setelah itu kuturunkan
badannya dan Sinta membantuku menjilati cairan
yang masih tersisa di kemaluan Diana sampai
bersih, tubuh Diana mulai melemas kembali.
"Leo, kamu waktu main sama Vivi juga seperti ini
ya, permainanmu bagus sekali," puji Diana
padaku.
"Ah biasa aja kok Ci," sahutku sambil
memiringkan tubuhnya dan kuarahkan batangku
ke lubang yang sudah basah itu. Sedikit demi
sedikit batang itu mulai tertancap di lubang itu
diikuti desisan Diana sampai akhirnya dengan
susah payah akhirnya mentok juga batangku di
kemaluannya yang sempit itu. Setelah itu aku
mulai memacu badanku maju mundur sambil
meremas-remas payudaraya dan Sinta
menjulurkan lidahnya untuk beradu dengan
lidahku. Sungguh nikmat sekali rasanya
menikmati pijatan-pijatan dinding liang
kewanitaan Diana sambil memijat payudaranya
dan bermain lidah dengan Sinta, sekali-sekali Sinta
juga menjilati leher dan telingaku. Benar-benar
aku merasakan diriku bagaikan seorang kaisar
yang sedang dilayani selir-selirku saat itu.
Beberapa saat kemudian aku merasa mau keluar
dan berkata, "Ci, mau keluar sebentar lagi nih."
"Siram di mulut.. ohh.. ahhh.. di mulut Cici!"
katanya lirih.

Akhirnya kami klimaks bersama dan kusuruh dia
membuka mulut untuk menyemprot spermaku.
Cairan putih kental membanjiri mulutnya sampai
menetes di sekitar bibirnya, Sinta pun ikut
menjilati spermaku yang masih berlepotan di
batangku. Diana sekarang tergolek lemas dengan
sisa-sisa sperma masih membekas di bibir, dagu,
dan lehernya, sesudah mengatur nafas dia
tersenyum padaku dan berkata, "Bisa-bisa besok
pagi Cici nggak bisa kuliah gara-gara kecapean
nih," jarang-jarang dia tersenyum begitu, padahal
wajahnya semakin manis kalau lagi senyum.

"Sama Ci, saya juga gitu mungkin, sekarang Cici
istirahat aja dulu deh, Sinta udah nggak sabar
nih," jawabku sambil merengkuh tubuh Sinta
dalam pelukanku.
"Sin, biarin Cici istirahat di ranjang dulu ya, kita
mainnya di tempat lain dulu, oke.."
"Ya terserah kamu deh, asal jangan di luar kamar,
kan malu," katanya sambil memencet hidungku
dengan nakal.
"Ya, iyalah masa di luar sih, dasar cewek
sableng," kataku sambil membantunya berdiri.
Kami berdiri berhadapan saling peluk tanpa
mengenakan selembar benangpun, kutatap
wajah dan matanya dalam-dalam, semakin dilihat
semakin cantik. Kurapatkan dia ke tembok,
kukecup keningnya merambat ke telinganya
dimana aku berbisik, "Sin, kamu pernah
melakukan ini pada siapa saja?"
"Baru loe, Andry, dan bekas pacar gua di SMA,
loe sendiri gimana Le, gua ini cewek keberapa
yang luperlakukan begini?"
Aku terdiam sesaat lalu kujawab, "Selain Vivi dan
Ci Diana mungkin kamu yang ketiga dan terakhir
bagiku Sin."
"Kenapa loe bilang aku yang terakhir Le?"
"Ya, karena aku sudah berdosa pada Vivi, aku
tidak mau menambahnya lagi."
"Hihihi, ternyata masih ada juga pria lugu seperti
kamu Le."
Lalu dia berkata di dekat telingaku, "Jadi loe belum
bisa membedakan antara seks dan cinta," habis
menyelesaikan kata-kata dia langsung mengulum
telingaku dan kubalas dengan meraba punggung
mulus dan pantatnya.
Kami saling raba bagian-bagian sensitif selama
beberapa saat dan kini kuangkat kaki kanannya
masih dalam posisi berdiri dengan bersandar di
tembok. Pelan-pelan kumasukkan batang
kemaluanku ke liang yang sudah becek itu, benar-
benar sempit milik Sinta ini, lebih sempit dari
Diana sehingga dia meringis kesakitan sambil
mempererat cengkramannya di pundakku saat
kumasukkan batangku.

"Aduhh.. ahhh.. pelan-pelan Le, sakit.. ahh..!"

Sedikit demi sedikit batangku sudah masuk setengahnya.

Kuhentikan gerakanku sejenak sambil berkata,
"Sin, kamu siap?"
"Siap apaan sih.. aawww…sakittt!" jeritnya. Sebab
saat dia bilang 'sih' kuhujamkan sekuat tenaga
sisa batangku yang belum masuk sampai mentok
dan kurasakan kepala batang kejantananku
menghantam dasar kemaluannya dengan kuat
sehingga tubuhnya tersentak dan matanya
membelakak kaget, telapak tanganku sudah
kusiapkan di belakang kepalanya agar ketika
terkejut kepalanya tidak membentur tembok.

"Jahat loe, bikin kaget gua aja," tanpa banyak
bicara lagi kugerakkan pantatku maju mundur
membuatnya mengerang-erang setiap
kusentakkan tubuhku ke depan. Dadaku saling
bergesekan dengan dadanya. Sambil terus
menggenjot kuciumi terus bibirnya sehingga
erangannya tertahan, yang terdengar hanya
suara, "Emmhhh.. emmhh.. emhmm.."
Beberapa saat kemudian tubuhnya kurasakan
seperti menggigil dan dia mempererat
pelukannya, demikian juga aku makin erat
memeluknya sampai kurasakan hangat pada
batang kejantananku disusul keluarnya cairan
bening dari liang senggama Sinta, cairan itu
mengalir deras dari sumbernya terus turun ke
pahanya dan sampai ke ujung kakinya. Perlahan-
lahan gerakanku melemah dan akhirnya berhenti,
kuturunkan kakinya dan kulepaskan batangku
yang masih menancap di kemaluannya. Tubuh
Sinta yang sudah basah kuyup oleh keringat
melemas kembali dan merosot sampai terduduk
di lantai, keringat di punggungnya membasahi
tembok di belakangnya. Kuambil tisu lalu
kubersihkan cairan kenikmatan yang mengalir
membasahi tungkainya.
Kami berdua terdiam sesaat memulihkan tenaga
kami yang terkuras. Setelah kurasa segar kembali
kuperhatikan dia yang masih terduduk lemas di
lantai dengan kaki kiri ditekuk, mataku terpaku
mengagumi keindahan tubuhnya membuat
gairahku bangkit kembali. "Ngapain sih loe, serem
amat melototin gua kaya gitu," katanya sambil
menyilangkan kedua tangan menutupi dadanya.

Tanpa menjawabnya kutarik lengannya lalu
kubuat posisinya berdiri membelakangiku dengan
kedua tangannya bertumpu di pinggir meja
belajarku. "Aduh.. tunggu dulu Le, gua masih
capek, loe jahat ih!"
Dengan segera kubasahi batang kejantananku
dengan ludah lalu kumasukkan ke lubang
pantatnya dengan paksa dan kuhentakkan biasa
saja tapi dia malah menjerit histeris, "Awww..
sakit, toloongg!" Jeritannya ini sempat
membuatku kaget juga karena kencang sekali,
aku takut sampai mengundang perhatian
tetangga sebelahku, untungnya lokasi kamarku ini
agak di ujung namun jeritannya tadi cukup luar
biasa. Aku melepaskan sebentar tusukanku dan
mengintip dari jendela apakah ada yang datang ke
sini, lega aku melihat koridor masih sepi tanpa
suara dan kamar sebelahku juga sudah gelap,
kurasa dia sudah terlelap.
Kudekati Sinta masih tetap dalam posisinya.

"Aduh Sin, itu suara tolong dikecilin dong
volumenya, gawat nih kalo ada yang tau, pake
tolong segala lagi, bisa-bisa dikira ada
pembunuhan."
Dasar cewek bandel, dia malah sambil tertawa
berkata, "Lucu tampang kamu lagi panik Le, masa
kamu lupa si Ferry tetangga sebelah loe kan lagi
pulang makanya gua kagetin loe, ini balasan
waktu tadi ngagetin gua (ketika posisi berdiri), jadi
kita seri hihihi!"
"Ooo jadi loe sengaja ya, awas loe ayo sini
tunggu ya balasan gua ntar!" kataku
menghampirinya. Dia malah berkelit sambil
berlari kecil.
"Wek, sini tangkep kalo bisa," ejeknya dengan
menjulurkan lidah.
"Cewek bandel, awas kalo kena ya!"
"Lho kalian lagi ngapain, kok kayak anak kecil aja
sih, dari tadi ribut terus," kata Diana yang sudah
bangun.

"Ini Ci, gua lagi kasih pelajaran buat si bandel nih."
Akhirnya kutangkap setelah dia terdesak di lemari
pakaianku di sudut ruangan, kupeluk dia dari
belakang, "Nah ketangkep loe sekarang, mau ke
mana lagi."
"Hihihi Leo ampun ah, jangan kasar-kasar!" dia
masih tertawa-tawa ketika itu, lalu aku membuat
posisinya seperti tadi lagi, kini kedua tangannya
yang bertumpu pada lemari.
"Sekarang tau rasa nih balesan gua!" kataku
dengan senyum penuh kemenangan.
Kutuntun batang kejantananku memasuki lubang
pantatnya yang sempit, sedikit demi sedikit
akhirnya amblas seluruhnya. Waktu kumasukkan
suara tawanya perlahan-lahan berubah menjadi
suara rintihan, senyumnya sirna berganti menjadi
ekspresi kesakitan, "Hi.. hi.. hi.. Leo udah ah,
lepasin ah.. ahhhh.. jangan.. ahhh.. sakit..!"
Mendengar rintihan tak karuan itu nafsuku
semakin bangkit, pinggulku segera bergerak maju
mundur dengan ganas. Dasar sifatnya bawel,
waktu bertempurpun dia masih sempat
berceloteh sambil merintih,

"Akhh.. kamu.. sadis..

ah.. ntar gua mau.. ohhh.. lapor.. aakhh.. sama..
sama Vivi.. ahhh!"

Pinggulnya ikut berpacu menyelaraskan dengan
gerakanku, yang paling enak adalah saat sentakan
kita saling berlawanan arah sehingga menambah
tenaga tusukanku agar menancap lebih dalam,
bila sudah begitu selalu histeris tapi tidak sehisteris
waktu mengagetkanku tadi. Payudaranya juga
ikut berayun-ayun kesana kemari, kedua
putingnya kutangkap dengan jariku, kupuntir,
kutarik, dan kupencet tanpa menyentuh dadanya,
aku sengaja berbuat begitu agar dia penasaran
dan memohon padaku. Benar saja perkiraanku
setelah beberapa lama kumainkan putingnya
tanpa menyentuh dadanya dia mulai memohon.
"Le.. ahh.. kamu kok.. ooohh.. cuma mainin..
aahhh putingnya.. remas dadaku Le.. please!"
"Hehehe.. gua kan udah janji mau ngebales loe
tadi, tunggu aja sampai saatnya nanti Sin,
hehehe," jawabku sambil tetap menggenjot lalu
tangan kiriku menjambak rambutnya hingga
kepalanya menengadah ke atas.
"Aaawww.. kamu.. kamu.. ahhh.. jahat.. kasar..
awas ya nanti!" Puas hatiku menyiksa si bandel ini
hingga tak berkutik memohon-mohon padaku.

Menurutku bercinta dengannya lebih enak
daripada Diana yang agak pasif, Sinta cukup
pintar mengimbangi gerakan-gerakanku,
staminanya pun lebih baik sedangkan Diana
belum apa-apa sudah takluk, maklum Sinta ini
orangnya rajin fitness.
"Uaah.. mau keluar Sin!" jeritku ketika mau
mencapai puncak.
"Gua juga.. aaahh.. ayo perdalam lagi.. ouchhh!"
"Uahhh..." begitu spermaku muncrat aku
langsung berteriak dan meremas kedua buah
dada Sinta dengan keras disusul pula oleh
jeritannya.
"Aaakkhhh sakiitt.. eeenakk..!" Tanpa melepas
batang kejantananku ,kepalaku menyelinap ke
balik ketiak kirinya, sasaranku adalah puting susu
yang ranum itu. Mulutku menangkap benda itu
lalu kusedot dengan gemas sementara tanganku
masih meremas buah dadanya. Kubalikkan
tubuhnya hingga kami saling berdiri berhadapan.

"Sin, kamu nggak menyesal melakukannya
padaku?" tanyaku, dia hanya menggeleng dengan
nafas yang masih memburu, tubuhnya licin
mengkilap karena berkeringat. "Le gua capek
berdiri terus, bantu gua ke ranjang dong,"
pintanya. Maka kugendong dia ke ranjang dengan
kedua tanganku sambil bercumbu mesra,
kubaringkan dia di sebelah Diana yang sudah
bangun, lalu aku duduk di tepi ranjang karena
ranjangku tidak cukup berbaring 3 orang.
"Wuiiih main sama Sinta ribut banget, sori ya
ngebangunin Cici nih," kataku pada Diana.
"Eee.. loe yang sadis kok masih nyalahin gua,
awas ya!" kata Sinta sambil menangkap
kemaluanku dan menggenggamnya erat.
"Idiih.. idihh.. gitu ya, lepasin Sin malu tuh diliatin
Ci Diana!"
"Minta ampun dulu, kalo nggak kagak bakalan gua
lepas nih!"
"Iya, sori.. sori deh yang mulia putri, sekarang
lepas dong!" gila bukannya dilepas malahan
dijilatinya batang kejantananku yang masih ada
sisa-sisa sperma dan cairannya itu.

"Kalian kok berantem melulu sih, lucu ah!" kata
Diana lalu dia mendekati kami dan ikut menjilati
batang kejantananku. Aku jadi merem melek
keenakan menikmati permainan mulut mereka
sambil mengelus-elus rambut indah Diana. Aku
lalu menyandarkan badanku di ujung ranjang
agar lebih nyaman, kedua gadis cantik ini kini
berada di depanku sedang mempermainkan
kemaluanku. Jilatan demi jilatan, emutan demi
emutan membuatku menyemburkan kembali
maniku namun kali ini sudah tidak banyak lagi
yang keluar akibat terkuras pada ronde-ronde
sebelumnya. Dengan rakusnya mereka berebutan
melahap cairan putih itu sampai habis bersih,
pada bibir-bibir mungil itu masih terlihat percikan
spermaku.
Mereka lalu menyuruhku telentang di ranjang, aku
tidak tahu mereka mau apa lagi tapi kuturuti saja.

Diana lalu naik ke atas kemaluanku dan
memasukkan batang itu hingga terbenam dalam
kemaluannya, kemudian dia mulai bergoyang-
goyang naik turun seperti naik kuda. Sinta naik ke
atas wajahku berhadapan dengan Diana dan
menyuruhku agar menjilati kemaluannya. Sambil
kuelus-elus pantat yang mulus itu, lidahku
menjelajahi liang kemaluannya, gerakan lidahku
bervariasi dari berputar-putar membuat
lingkaran, mempermainkan klitorisnya, menggigit
lembut klistorisnya, menusukkan jari tengahku
sampai mendorong-dorongkan lidahku ke liang
itu.

Tanganku bargantian memijati kedua payudara
Sinta dan mengelus paha serta pantatnya, suatu
ketika kuraba payudaranya, tanganku juga
bertemu tangan Diana di situ, jadi masing-masing
payudara Sinta dipijati 2 tangan. Suara desahan
mereka berdua memenuhi kamarku, terkadang
suara itu berubah menjadi, "Emhhh.. emhhh..
emhh!" sepertinya itu suara mereka berdua
sedang berciuman sehingga desahannya
terhambat, aku tidak tahu persis karena waktu itu
pandanganku tertutup tubuh Sinta.
Goyangan pinggul Sinta bertambah dahsyat
ditambah lagi jepitan pahanya terkadang
mengencang membuatku agak kewalahan
mengatasinya, sementara Diana yang tidak kalah
gilanya makin mempercepat gerakannya
sehingga terasa sedikit sakit pada buah pelirku
akibat tindihannya. Aku pun tak mau kalah,
kubalas dengan menggerakkan pinggulku,

kurasakan batang kejantananku sudah terasa licin
dan hangat oleh cairan yang keluar dari liang
kewanitaannya, bersamaan dengan itu
terdengarlah jeritan histeris Diana yang tidak lama
sesudahnya disusul erangan Sinta dan tetesan
cairan kenikmatannya ke wajahku. Tubuh
keduanya mengejang di atas tubuhku selama
beberapa saat, kurasakan goyangan Diana mulai
melemah sampai akhirnya berhenti, Sinta turun
dari wajahku dan langsung menjatuhkan diri di
sampingku. Kulihat tampang Diana sudah kusut,
rambut panjangnya berantakan sampai menutupi
sebagian wajahnya dan tubuhnya sudah
bermandikan keringat, dia jatuh telungkup di
atasku, payudaranya menindih dadaku, empuk
dan nikmat sekali rasanya, lebih enak dari ditindih
bantal bulu angsa sekalipun.
Begitu w bahkan Diana, gadis bagaikan gunung
es itu sudah tidak perawan lagi, tapi aku tidak
peduli soal itu yang penting kenikmatan yang
kudapat waktu itu sangat hebat, lagipula liang
kemaluan mereka masih sempit karena menurut
pengakuan mereka jarang melakukannya karena
pacar mereka tinggal terpisah jadi jarang
bertemu. Gara-gara permainan liar malam itu
besok paginya aku tidak ikut kuliah jam 7 karena
tubuhku pegal-pegal terutama bagian pinggang
seperti mau copot rasanya, kumatikan wekerku
dan meneruskan tidur sampai jam 10.00 ketika si
bandel Sinta menggedor pintuku, "Wei.. wei..
bangun pemalas, semalam ngapain aja loe!"


Adult | GO HOME | Exit
1/2237
U-ON

inc Powered by Xtgem.com